Unit Pengembangan Sumber Daya Kesehatan

Perubahan adalah proses yang harus dirancang sedemikian rupa untuk membuat nilai tambah bagi organisasi khususnya di bidang kesehatan dan institusi rumah sakit

Rumah sakit menjadi market leader? Mengapa tidak? Market leader harus tetap konsisten membuat perubahan. Untuk tetap survive, knowledge based economy harus menjadi arah perubahan organisasi. Harus selalu ada yang baru. Konsisten menciptakan knowledge worker berarti konsisten terhadap perubahan. Seorang pakar HR mengatakan, hidup matinya perusahaan di era ini sangat tergantung pada kualitas pengetahuan para pekerjanya.
Knowledge worker adalah yang peduli pada pengembangan organisasi dan selalu memperbarui pengetahuannya. Knowledge worker dituntut untuk beraktifitas secara kreatif dan menciptakan inovasi-inovasi baru. Sehingga mereka haus belajar (life-long learner), termasuk belajar dari pengalaman, dan terus mengembangkan pengetahuannya. Kontribusi terhadap organisasi terus meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan.
Secara umum, ada lima hal utama yang dimiliki knowledge worker :
Self driven, memiliki dorongan pribadi untuk menyelesaikan pekerjaan pribadi;
Motivated, memiliki motivasi tinggi dalam bekerja;
Action oriented, berorientasi pada aktifitas, bukan pada rutinitas;
Responsible, memiliki tangung jawab atas pekerjaannya; dan
Team player, bekerja baik di dalam tim.
Rumah sakit sebagai organisasi yang core-nya menjual jasa, merupakan organisasi padat SDM, padat karya, padat teknologi, padat kepentingan dan padat profesi atau pekerjaan yang lebih mengandalkan pengetahuan, informasi dan kreatifitas dalam menjalankan pekerjaannya dibandingkan kemampuan fisik. Jelas rumah sakit termasuk organisasi yang harus piawai menciptakan dan membangun knowledge worker.
Yang perlu disadari, professional disini bukan hanya yang berkecimpung di bidang kesehatan saja, bidang lain juga harus disentuh lebih efektif lagi, misalnya HR, penunjang medis, penunjang non medis/administrasi, kesekretariatan, akuntansi, IT, marketing, PR, satpam, hukum, termasuk bagian parkir, semuanya. Tidak dipungkiri ujung tombak rumah sakit adalah tenaga medis, namun bagaimana akan terjadi team play yang baik jika pemain lain kurang professional.
Untuk ini perlu ditingkatkan peran unit yang berperan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Apakah di unit pendidikan dan latihan, atau kepegawaian. Jika urusan pegawai berkonsentrasi dalam urusan administrasi kepegawaian, lebih bijak jika dibentuk tim yang terpisah untuk urusan ini. Kelambatan dalam pengelolaan SDM, akan semakin melemahkan daya saing organisasi di era yang semakin kompetitif.
Kesungguhan dalam upaya membangun dan menciptakan knowledge worker ini akan terlihat dari adanya tim khusus yang berkonsentrasi mulai dari proses rekrutmen, peningkatan sampai pemeliharaan kualitas SDM. Kedua, adanya standar kompetensi sebagai syarat knowledge based economy. Ketiga, adanya perencanaan anggaran untuk kegiatan penciptaan dan pemeliharaan knowledge worker. Keempat, adanya system continuous learning dan remunerasi yang mengapresiasi dan penghargaan terhadap kinerja knowledge worker. Kelima, promosi yang melihat potensi di masa mendatang. Keenam, infrastruktur pemeliharaan knowledge worker. Perpustakaan dan akses internet misalnya.
Setiap individu rumah sakit harus menjadi sumber pertambahan nilai yang luar biasa bagi rumah sakit. Salah satu cara hospital image building adalah harus selalu ada yang baru. Knowledge worker-lah sumbernya.
Selamat membuat Perubahan…!!!

Rumah sakit membangun corporate image? Mengapa tidak? Di era ini, masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk kebutuhan pelayanan kesehatan. Hospital Image Building perlu dilakukan. Perusahaan yang mempunyai citra baik di mata konsumen, produk dan jasanya relatif lebih bisa diterima konsumen dari pada perusahaan yang tidak mempunyai citra. Perusahaan yang memiliki citra positif di mata konsumen cenderung survive di masa krisis.
Membangun corporate image adalah membangun reputasi yang kuat dengan berbagai audiens/publik yang potensial untuk organisasi. Siapa publik rumah sakit? Pemerintah, pemilik, karyawan, masyarakat pengguna jasa rumah sakit dan keluarganya, media (cetak/elektronik), perusahaan yang punya komitmen terhadap kesehatan para pegawainya, perusahaan penyedia barang dan jasa kesehatan, dan lain-lain. Dalam hal ini mungkin Anda lebih banyak tahu.
Sehat hak individu, namun ketika sehat pada umumnya melupakan resiko sakit. Ketika hal ini datang, apalagi di masa krisis, mereka akan melakukan pengetatan keuangan walaupun siap mengeluarkan berapa saja demi kesehatan. Mereka akan lebih selektif dan memilih berhubungan dengan penyedia jasa kesehatan yang mereka percaya lebih efektif dalam membantu menyelesaikan masalahnya serta minim resiko.
Karyawan yang bekerja pada perusahaan dengan citra positif memiliki rasa bangga sehingga dapat memicu motivasi mereka untuk bekerja lebih produktif dan memberi kontribusi yang luar biasa terhadap organisasi. Sementara rumah sakit adalah penyedia jasa kesehatan yang lebih mengandalkan kompetensi sumber daya manusia.
Citra organisasi yang baik juga menjadi incaran para investor yang otomatis akan semakin yakin terhadap daya saing dan kinerja organisasi. Untuk memberikan nilai tambah rumah sakit dan multi player effect, KSO merupakan suatu pilihan yang baik dan efisien. Hanya dengan rumah sakit dengan citra positif saja mitra usaha mau melakukan KSO.
Organisasi yang memiliki citra positif akan lebih mudah dalam melakukan segala hal untuk berkembang. Karena keberhasilan rumah sakit tidak hanya tergantung pada mutu produk dan jasanya tapi juga pada kepiawaian membangun citra rumah sakit, maka seharusnya setiap rumah sakit perlu mengetahui citranya di masyarakat. Salah satu instrument yang dapat digunakan untuk mengetahui citra rumah sakit adalah indeks kepuasan masyarakat (IKM).
Masih sedikit perusahaan Indonesia yang mempunyai rencana jangka panjang dan komitmen tinggi dalam membangun citranya. Bagaimana dengan rumah sakit? Ketidak sungguhan organisasi dalam membangun citra terlihat dari :
1. tidak adanya tim khusus yang bertugas untuk membangun dan mengevaluasi citra organisasi.
2. minimnya alokasi dana untuk kegiatan membangun image.
3. minimnya jejaring (networking) yang terbangun dari perjalanan waktu.
Kiat membangun image, diantaranya mengubah pola pikir birokrat menjadi entrepreneur, memberikan produk serta jasa berkualitas, berorientasi pada pelanggan, memiliki team work yang kompak dan komunikatif dalam organisasi yang memungkinkannya untuk memberikan feedback secara cepat, bijaksana dan transparan, sinergi jajaran staf organisasi dalam menjalankan sistem manajemen mutu, tim khusus yang memfokuskan diri pada masalah, sentuhan personal humanism dalam proses komunikasi dan pelayanan, dan memperkuat networking rumah sakit.
Lima Kunci Sukses Membangun Hospital Image :
1. Rumah sakit harus melakukan suatu upaya sedemikian rupa sehingga mampu memberikan layanan yang benar-benar memberikan manfaat yang unggul atau melebihi harapan positif masyarakat pengguna jasa kesehatan, khususnya target pasar. Segmen pasar yang berbeda membutuhkan karakteristik layanan yang berbeda.
2. Temukan talenta organisasi yang merupakan inner beauty maupun outer beauty yang dimiliki. Libatkan seluruh individu rumah sakit dalam membangun image.
3. Membangun identitas/jati diri (logo, nama, lagu, warna, seragam, pin, dll) yang membedakan dengan rumah sakit lain. Perhatikan filosofi setiap identitas yang dibangun. Logo yang terbuka dapat memberi efek positif dibanding yang tertutup.
4. Pancarkan ke segala penjuru dengan cara melakukan komunikasi pemasaran secara efektif. Personal branding perlu juga dilakukan oleh direktur rumah sakit sebagai key person yang meningkatkan kepercayaan bahwa komitmennya untuk memberikan yang terbaik untuk masyarakat bukan hanya slogan.
5. Monitoring dan feedback. Tindaklanjuti dengan cepat setiap informasi image negative untuk mempertahankan image positif yang telah terbangun.

Selamat membuat Perubahan…!!!

Maraknya berita di media massa yang menginformasikan kejadian bencana akhir akhir ini menimbulkan dampak yang luas. Salah satunya adalah krisis kesehatan akibat bencana. Rumah sakit yang memegang peranan penting dituntut kesiapan dan kemampuannya menangani korban bencana secara tepat dan cepat. Tidak mudah memang, karena beberapa kendala yang sering menghadang seperti management support collapse, structural collapse, medical support collapse maupun functional support collapse. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan peranan rumah sakit dalam menangani bencana, diperlukan sistem penanganan bencana seperti Hospital Disaster Plan.
Menurut Ketua PERSI, dr. Adib A. Yahya, MARS, dalam Hospital Management Course pada tanggal 30 Januari 2009 di Jakarta, mengatakan bahwa Indonesia kaya disaster, bahkan disaster yang berkualitas internasional. Namun belum banyak belajar dari kejadian disaster atau suatu hazard yang menimpa komunitas (bencana). Upaya mempersiapkan diri sudah banyak dilakukan namun faktanya banyak yang masih belum siap menerima pasien disaster. Ada perbedaan antara siap dengan mempersiapkan diri. Seharusnya ada tindakan untuk meningkatkan kemampuan mengantisipasi disaster, tidak lengah.
Jika terjadi disaster, banyak pihak datang. Namun jika tanpa preparedness yang pas justru malah merepotkan. Yang datang pertama, lakukan assessment yang benar, baru langkah nyata yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan korban bencana. Ada latihan secara periodik dan berjenjang. Yang menjadi kelemahan, harus kita perbaiki.
Kesiapan rumah sakit, selain siap alatnya, juga siap dengan taktik atau rencananya. Memiliki pos pengendali, sistem komunikasi, peta rumah sakit, data base dan lain-lain. Dibutuhkan kesiapan Hospital Preparedness for Emergencies and Disaster (HOPE). Singkatnya, rumah sakit harus memahami peran fasilitas pelayanan kesehatan rumah sakit dalam manajemen bencana, konsep pelayanan medik dalam kedaruratan dan memiliki Blue Print Hospital Disaster Planning.